Revolusi putih sebagai cita-cita
mewujudkan kecerdasan bangsa wajib untuk dilaksanakan. Senyampang persoalan
tingkat konsumsi yang masih rendah, preferensi masyarakat akan jenis susu juga
menuntut koreksi. Lebih dari 80% warga dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk
cair, dan dipastikan Indonesia tak masuk di dalamnya.
Susu adalah minuman alami, kaya akan nutrisi yang sulit
ditandingi. Dalam budaya Arab, ia diistilahkan sebagai minumannya para nabi.
Ini antara lain karena tak kurang, Muhammad, nabinya umat muslim menyebut susu
sebagai minuman paling utama dan dianjurkan mengkonsumsinya setiap hari.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, logikanya Indonesia akan menganut
paham apa yang diajarkan nabinya. Tapi fakta berbicara lain. Tak sejalan dengan
logika, bangsa Indonesia tercatat sebagai masyarakat dengan pola konsumsi susu
yang buruk.
Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia yang masih sangat
rendah adalah satu persoalan tersendiri dan menuntut tindakan koreksi sistemik,
karena menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia, baik aspek kesehatan
maupun kecerdasan. Tetapi, selain tingkat konsumsi yang masih rendah,
preferensi (pilihan) masyarakat akan jenis susu yang dikonsumsi juga menuntut
koreksi. Senyampang persoalan tingkat konsumsi yang baru di titik 9 kg/kap/th
alias 1 gelas per minggu, alias 20 tetes per hari, ada yang keliru pula dari
cara masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi susu. Masyarakat Indonesia lebih
mengenal susu bubuk ketimbang susu segar atau susu cair. Lebih dari 90% warga
negeri ini terbiasa mengkonsumsi susu berupa bubuk atau kental manis, dan tak
lebih dari 10% yang kesehariannya minum dalam bentuk cair. Padahal jamaknya,
masyarakat dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk segar atau susu cair,
sebagaimana sering tampak dalam tayangan film-film asal negara-negara maju.
“Lebih dari 80% warga dunia mengkonsumsi susu dalam bentuk
segar, yang Indonesia dipastikan tidak masuk di dalamnya. Masyarakat Indonesia
jauh lebih mengenal susu olahan, berupa bubuk atau kental manis.” Demikian
komentar Dedi Setiadi, Ketua Umum GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia)
ditemui TROBOS di Bandung Juni lalu. Fakta ini disesalkan Dedi, dan menurutnya
harus diluruskan. Pasalnya, mengkonsumsi susu segar bisa dipastikan memberikan
keuntungan yang lebih baik ketimbang susu olahan. Ia beralasan, dari asalnya
susu diciptakan dengan keunggulan kaya nutrisi yang tidak dimiliki pangan
lainnya, sehingga dengan manipulasi berlebihan justru beberapa manfaat akan
tereduksi. Minum susu segar adalah pilihan paling tepat untuk mendapatkan
kesempurnaan manfaat dari segelas susu.
Titik Lemah Susu Bubuk
Menurut Dedi, susu bubuk hasil pengolahan pabrik yang banyak
beredar di pasaran, bahan baku utamanya adalah susu impor. Disebut Dedi, susu
impor bukanlah susu komplit melainkan susu yang sudah dihilangkan butter
fat-nya (lemak), “Namanya skim milk powder (susu bubuk skim).” Dalam pengolahan
menjadi susu bubuk ditambahkan sebagai pengganti adalah lemak dari minyak sawit
(palm oil). Sehingga lemaknya adalah lemak nabati bukan lagi lemak hewani. Jadi
susu yang sudah mengalami modifikasi inilah yang menjadi bahan utama susu
olahan yang kadang disebut juga susu recombined. Bukan susu segar langsung dari
peternakan sapi lokal.
Ditemui terpisah, Ali Khomsan pakar gizi dari IPB tidak
sepenuhnya sependapat dengan pandangan tersebut. Menurutnya, secara gizi, susu
bubuk memiliki kandungan nutrisi yang tidak berbeda dengan susu segar. Ahli
nutrisi di industri pengolahan sudah menghitung imbangan nutrisi di dalamnya.
Ia membenarkan, selama proses pengolahan beberapa zat seperti vitamin yang
rentan dengan panas akan rusak. Tetapi untuk mengimbanginya, pabrikan
memberikan imbuhan vitamin pengganti, dan beberapa unsur lainnya, sebagai
pengganti nutrisi yang tereduksi sepanjang pengolahan. Secara prinsip, tak ada
masalah dalam soal kandungan gizi sepanjang kaidah dan prosedur penyajian
dipenuhi konsumen.
Masih menurut Ali, kegunaan utama susu adalah sebagai sumber
kalsium, sementara nutrisi lain seperti protein dan vitamin dimiliki beberapa
pangan hewani lainnya dengan kadar lebih tinggi. “Jadi susu merupakan sumber
utama kalsium, zat ini yang utama dari susu,” jelasnya. Dari segelas susu
terkandung 300 mg kalsium. Dan sebagaimana juga disebut dalam sebuah jurnal
ilmiah keluaran Amerika, baik susu segar, susu rendah lemak (1%) dan susu tanpa
lemak memiliki kandungan kalsium yang setara. Sehingga tak ada yang kurang dari
susu rendah lemak, kecuali lemaknya. (lihat tabel).
Kalsium (mg) Kalories Lemak (g)
Bebas lemak/Skim 300 90 0
Rendah lemak (1%) 300 100 2.5
Kurang lemak (2%) 300 120 5
Susu utuh (3.25%) 300 150 8
Susu coklat rendah lemak (1%) 290 160 2.5
Kendati demikian, Ali menunjuk, konsumsi susu bubuk memiliki
titik kelemahan utama dalam standar penyajian. Terdapat beberapa titik kritis
yang berpotensi menjadikan segelas susu siap minumnya tidak ekuivalen dengan
susu segar. Kesalahan penyajian dapat disebabkan karena tingkat pemahaman
konsumen yang masih kurang, atau dapat pula disebabkan kesengajaan. Dengan
alasan ngirit, tidak jarang para pengguna susu bubuk mengurangi takaran
sebagaimana mestinya. “Yang dianggap susu, asal warnanya putih sudah cukup.
Padahal konsentrasi bersifat mutlak,” tandas Ali. Belum lagi soal higienitas
yang kerap menjadi kendala dalam penyajian. Tingkat kepedulian masyarakat
Indonesia akan “hygien” masih rendah, syarat kebersihan untuk menutup peluang
masuknya kuman sering tak diindahkan. Titik-titik kritis ini menjadi poin minus
dari hadirnya segelas susu dari susu bubuk.
Ali pun sepenuhnya sangat mendukung upaya minum susu cair.
“Budaya minum susu masyarakat harus diubah secara gradual,” ujar Ali. Tak hanya
alasan susu bubuk memiliki nilai minus sebagaimana dijelaskannya, tapi juga
karena minum susu segar akan memberikan keuntungan dari aspek harga. Selama ini
susu oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai barang mewah sehingga tak
terbeli. Itu karena yang ada dalam alam bawah sadar adalah susu olahan yang
tersedia di pasaran dalam kemasan mahal. Tidak demikian apabila susu segar.
Susu segar dipastikan lebih terjangkau.
Ketua Dewan Persusuan, Teguh Boediyana memberikan informasi
cara pembandingan harga susu bubuk dengan susu segar. Dikatakannya, 1 kg susu
bubuk setara 8 liter susu segar, maka susu bubuk dalam kemasan boks 800 gram
setara 6,4 liter. Dengan harga berkisar Rp 48 ribu/boks dapat dihitung per
liter setara susu segarnya senilai Rp 7.500. Sementara saat ini harga susu di
tingkat koperasi yang diserap IPS Rp 3.600 untuk TS 12% (kualitas bagus).
Hitungan ini menggambarkan harga susu bubuk per liter setara susu segarnya dua
kali lipat harga beli susu segar langsung di peternak. Dengan harga susu yang
lebih terjangkau, konsumsi susu akan lebih merata ke lapisan yang selama ini
tak tersentuh. Pada gilirannya, budaya konsumsi susu segar akan mendorong
peningkatan asupan susu secara nasional. Jadi kampanye minum susu segar bagi
Ali lebih pada alasan untuk mendongkrak tingkat konsumsi, bukan alasan gizi.
Menciptakan Pasar Alternatif
Mengubah budaya tidaklah gampang, diperlukan usaha yang
tidak mudah dan murah. “Perlu komitmen banyak pihak untuk mengubah mindset ini.
Dan penghela utama tidak-bisa-tidak harus pemerintah!” kembali Dedi yang juga
Ketua GKSI Jawa Barat menekankan. Terlebih harus berhadapan dengan gencarnya promosi
iklan susu bubuk di berbagai media masa. “Citra susu olahan demikian tinggi
dipoles di iklan media massa, sampai substansi susunya tenggelam di antara
ekspos zat imbuhan dalam susu,” kata Dedi. “Apalagi kental manis, 80 %
kandungannya adalah gula. Jadi artinya minum gula rasa susu,” ia berseloroh.
Tapi itu pun dikemas sedemikian rupa sehingga kekurangan itu hilang sama
sekali.
Langkah pertama yang paling mungkin dan beralasan dilakukan
adalah mengenalkan minum susu segar tersebut pada anak-anak sekolah. “Kelompok
ini harus dibiasakan minum susu segar atau susu cair,” ujar Dedi yang juga
dikemukakan Ali. Keduanya menyampaikan, yang dimaksud dengan susu segar atau
susu cair adalah susu pasteurisasi dan susu UHT (Ultra High Temperatur) yang
banyak ditemui di pasaran. Sedikit berbeda, Dedi menyebut satu lagi, susu
sterilisasi. Tapi menurut Ali secara prinsip sterilisasi dan UHT sama.
Memproduksi susu cair tidaklah sulit, demikian Dedi yakin.
Semua koperasi primer mampu memproduksi susu cair, “Masalahnya, pasarnya masih
kecil karena faktor budaya tadi.” Maka gagasan sebuah program yang memiliki
dampak terciptanya pasar menjadi keniscayaan. “Pemerintah membentuk captive
market, koperasi menyediakan produk,” ia mengutarakan gagasan. Ia mengusulkan
gerakan minum susu di anak sekolah misalnya PMTAS (Program Makanan Tambahan
untuk Anak Sekolah) makin digiatkan. “Membiasakan seminggu sekali minum susu,
dengan dana dari pemerintah, jadi solusi cerdas,” ujar Ali senada.
Dana bisa saja dari departemen pendidikan, atau departemen
kesehatan atau departemen sosial. Dedi menambahkan, program ini hanya bersifat
sementara. “Dua tahun saja misalnya, setelah itu anak akan terbiasa atau
ketagihan susu dan dengan sukarela menggunakan uang jajannya untuk membeli susu
cair,” jabar Dedi. Yang terjadi selama ini, anak-anak tak terbiasa saban hari
minum susu cair di tengah aktivitasnya bermain atau bersekolah. disadur dari duniaveteriner.com
Tambahkan Komentar